Selasa, 31 Maret 2015

Generasi Ketiga | #MaretMenulis 23

Generasi kita bukanlah generasi pencipta. Itulah yang kadang terlintas di pikiran saya.

Generasi sebelum kita adalah generasi yang mengembangkan—atau mungkin mengeksploitasi—warisan dari generasi pencipta yang lahir jauh sebelum kita. Mereka mengembangkan segalanya dengan begitu cepat dan kadang mungkin tak memperhatikan hal lain yang mungkin akan menyertainya.

Generasi sekarang sebenarnya bisa dibilang tinggal menikmati hasil kerja keras dua generasi sebelumnya, namun dibalik semua kenyamanan itu, kita punya tugas yang sama beratnya dengan dua generasi sebelumnya. Tugas tersebut adalah memperbaiki dan menata kembali apa yang terlewatkan oleh generasi sebelumnya.

Saya pernah mendengar sebuah mitos tentang generasi ketiga, ibarat sebuah perusahaan keluarga, generasi pertama adalah perintis, generasi kedua adalah yang mengembangkan dan menjadikan perusahaan tersebut berjaya, dan generasi ketiga adalah yang meruntuhkannya.


Kita adalah generasi ketiga tersebut. Menikmati sambil ongkang-ongkang kaki atau mempertahankan apa yang ada agar generasi seanjutnya bisa menikmati hal yang sama, itu adalah pilihannya. 

Sabtu, 28 Maret 2015

Menikmati Delay | #MaretMenulis 22

Ada yang bilang, sebagai pelanggan yang terhormat, jika tidak puas dengan layanan yang diberikan, maka kita harus complain. Saya setuju saja jika ketidakpuasan tersebut kita dapatkan saat berada di sebuah restoran.

Karena antisipasi kemacetan Jakarta, kemarin siang saya sudah berada di dalam taksi menuju Bandara Halim Perdanakusuma pada pukul 11.00. Saya tiba di bandara sekitar pukul 11.30, padahal flight masih pukul 15.00. Saya habiskan waktu hingga sekitar pukul 13.00—sambil menunggu waktu check ini—di Dunkin Donout dengan menulis #MaretMenulis sambil sesekali menoleh ke layar televisi yang menayangkan Viva JKT 48 di televisi.

Delay hingga pukul 16.30, ujar mbak petugas dengan ekspresi sekenanya, mungkin sudah lelah dimaki-maki penumpang lain yang kesal karena delay.

Tak ada gunanya kita marah-marah dan memaki ground crew saat pesawat kita mengalami delay—mereka juga tak akan bisa berbuat apapun, bukan? Menurut saya dari pada menghabiskan tenaga untuk marah-marah padahal kita tahu situasi tidak akan berubah, kenapa tidak kita nikmati saja duduk tenang dan menikmati suasana?

Mendengarkan musik dengan headset sambil mengamati wajah-wajah penumpang lain yang juga menjadi korban delay, menjelajah semua media sosial yang kita punya, menikmati Caffemocha panas sambil menulis, itu yang saya lakukan untuk membunuh waktu kemarin siang. Jika itu semua tidak mempan, mungkin berbincang dengan penumpang lain atau cari posisi pewe untuk tidur juga bisa dilakukan.

Jumat, 27 Maret 2015

Tetua | #MaretMenulis 21

Bagaimana jika ternyata kau menjadi salah satu yang tertua di lingkungan pertemananmu? Apakah kau akan menempatkan diri sebagai si bijak yang selalu memberikan nasihat dan selalu mengayomi, menjadi si tak-ingat-umur karena terbawa dengan perilaku teman-temanmu yang lebih muda, atau mungkin menjadi si jaim yang selalu jaga wibawa dan hanya berpendapat saat diminta karena takut dianggap tua?

Apapun itu, menurut saya sebaiknya jangan dipaksakan. Jangan berusaha menjadi si bijak yang harus selalu bisa memberkan saran terbaik, jangan juga berusaha mati-matian menjaga wibawa hanya karena takut dianggap tak-ingat-umur. Biarkan image apapun itu melekat kepada diri kita secara alami.


Masa Lalu di Masa Depan | #MaretMenulis 20

Ada satu pandangan baru tentang masa depan dari Sophia Latjuba di Press Conference Earth Hour Indonesia Kamis lalu. Perempuan cantik yang tahun ini membantu mengkampanyekan #BeliYangBaik ini bercerita bahwa ia pernah membaca sebuah buku atau dokumenter—yang ia sendiri lupa apa judulnya—yang menceritakan tentang satu kemungkinan masa depan yang akan terjadi.
Tuh, mbak Sophia lagi cerita.

Masa depan yang digambarkan Sophia bukanlah masa depan dengan teknologi futuristik seperti yang sering kita lihat di film-film sci-fi. Masa yang digambarkan adalah masa depan depan seperti masa lalu. Jangankan mobil terbang, mobil konvensional seperti yang ada sekarang pun tidak akan berguna. Peradaban manusia mengalami kemunduran karena semua sumber daya alam sudah dihabiskan di masa ini. Dihabiskan oleh generaasi kita.

Hal ini bukannya tidak mungkin terjadi. Bahan bakar fosli suatu saat nanti akan habis, dan itu adalah satu hal yang pasti. Sayangnya, kita seolah tak peduli, karena kita tahu benar, bukan generasi kita yang akan merasakannya.

Saya ingat pernah menyaksikan satu tayangan—kalau tidak salah di Discovery Channel—tentang teknologi solar system yang (katanya) sudah ditemukan sejak abad ke-19. Konon teknologi tersebut sudah sempat dikembangkan dan sudah siap diuji, sayangnya Perang Dunia akhirnya membuat solar system yang telah terpasang itu harus dibongkar kembali untuk membantu memenuhi kebutuhan perang.

Tampaknya sejak saat itu solar sytem seolah menjadi kisah yang terlupakan. Generasi kita—yang sudah terlanjur mengalami ketergantungan pada bahan bakar fosil—menganggap solar system sebagai satu hal yang sama sekali baru.

Seandainya jumlah uang di rekening tabungan saya sebanyak yang dimiliki Donal Trump, mungkin saya akan menginvestasikannya untuk pembangunan solar system raksasa agar bisa menggantikan PLTU Paiton. Sayangnya, di saat waktu itu tiba, mungkin saya sudah tidak ingat lagi bahwa saya pernah membuat tulisan ini.

http://img2.bisnis.com/bandung/photos/2014/05/13/504202/pltu-paiton-antara.jpg

Perempuan Itu Bernama Jakarta | #MaretMenulis 19

Kali ini saya berada di Jakarta. Ya, sekali lagi saya berasil melakukan perjalanan keluar Jogja sendirian, walaupun kesendirian saya hanya selama di pesawat, karena akhirnya seorang sahabat menawarkan diri untuk menjemput di Bandara Halim Perdanakusuma.

Jakarta selalu membuat saya kagum karena memiliki daya tarik tersendiri. Banyak orang—termasuk beberapa teman dekat saya—entah kenapa begitu terpikat dengan daya tarik tersbut sehingga rela meninggalkan kota kelahirannya dan berjuang untuk bertahan hidup di sela-sela hutan beton ibukota. Semua dilakukan atas nama karier dan masa depan yang lebih cerah.

http://media-cdn.tripadvisor.com/media/photo-s/01/5d/4f/f4/mandarin-oriental-jakarta.jpg


Jakarta ibarat seperti perempuan high-maintance yang cantik dan ber-body sempurna, mungkin seorang model, atau seorang model yang juga anak konglomerat, dan masih single. Banyak sekali lelaki yang berbondong-bondong untuk memenangkan hatinya, tapi sayang ia sangat angkuh dan hanya lelaki yang bernyali besar—dan mungkin tidak tahu malu—yang berani mendekatinya.

Saya lebih memilih untuk mengagumi perempuan ini dari jauh, persis seperti ketika melihat Cameron Diaz atau Charlize Theron di tivi atau majalah. Kagumi saja dari jauh, jangan sekali-kali bermimpi untuk bisa memiliki atau bahkan mendekatinya. 





Minggu, 22 Maret 2015

Menulis Itu Susah | #MaretMenulis 18

Ternyata memang susah menjaga konsistensi. Hal sesederhana duduk di depan laptop minimal sejam sehari dan menulispun menjadi sesuatu yang sangat berat.

Memang akan ada dua kemungkinan, jika sekedar mengejar kuantitas—sehari satu tulisan—bukan tidak mungkin kualitas tulisan tersebut makin lama akan makin menurun, namun jika menjaga kualitas, kita tidak mungkin memaksa otak untuk berpikir secepat itu. Bagi para penulis profesional dan jurnalis mungkin tak akan menemukan kesulitan ketika harus menuliskan tiga artikel setiap hari, karena memang sudah terlatih dalam hal tersebut. Berbeda dengan kita—atau mungkin dalam hal ini saya sendiri—yang masih dalam tahap belajar.

Sebenarnya bisa saja—untuk mengejar kuantitas dan konsistensi—saya menuliskan puisi atau sajak alakadarnya setiap hari, namun tetap saja ada ketidakpuasan yang muncul. Sama seperti tulisan ini yang mungkin hanya akan mendapat nilai 1 pada skala 1 sampai 10, seperti beberapa tulisan saya yang lain di #MaretMenulis.


Kamis, 19 Maret 2015

Terlalu Besar, Terlalu Bodoh | #MaretMenulis 17

Seberapa besar kesombongan kita yang lulusan S1 dan merasa sudah sangat ahli di bidang yang kita geluti? Punya saya cukup besar.

Kadang lingkungan pergaulan kitalah yang membuat kita merasa besar. Kita menjadi terlalu malas untuk mengakui bahwa di luar sana, di lingkungan pergaulan yang lain, kita bukanlah siapa-siapa.

Itulah yang saya alami belakangan ini. Seiring dengan makin luasnya pergaulan, saya makin sadar, bahwa saya butuh lebih dari sekedar orang-orang yang selalu mengatakan betapa hebatnya kemampuan Bahasa Inggris atau betapa cemerlangnya ide konten program radio yang saya miliki.

Beruntungnya, saya punya beberapa lingkungan pergaulan—UnisiRadio, RBTV, Earth Hour Jogja, Alzi Jogja—yang berbeda yang selalu bisa memperkaya dan kadang memberikan tamparan tersendiri.

Tamparan paling baru yang saya alami adalah saat memandu talkshow di program Obrolan Pagi RBTV bersama partner saya, Isye Dewi. Jujur saja, saya langsung membodoh-bodohkan si pembuat flyer sederhana dengan desain alakadarnya bertuliskan “Peringatan Hari Sindroma Down Dunia”.

Mengapa “down” tidak diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia? Mengapa tidak ditulis “Peringatan Hari Down Syndrome Dunia” atau malah sekalian ditulis saja semua mengguanakan Bahasa Inggris, “World Down Syndrome Day”, bukannya akan terlibat lebih bagus dan terpelajar?

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu saya dapatkan saat jeda iklan. Ternyata “down” memang tidak bisa diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, karena memang tidak mengacu pada kapasitas otak para penderita yang di bawah rata-rata manusia normal. Down ternyata diambil dari seorang dokter asal Inggris, John Langdown Down, yang berhasil menemukan dan memaparkan tentang sindroma ini di tahun 1866.

Iya, saya memang harus malu karena setelah hampir menjalani kehidupan selama hampir 30 tahun, saya baru mengetahui tentang hal ini sekarang. Mungkin menang pergaulan saya masih kurang luas, atau bisa jadi saya terlalu malas untuk mencari tahu, tapi yang jelas, saya harus bersyukur karena telah dipertemukan dengan Mbak Titik dan Ibu Kiki dari Persatuan Orangtua Anak Dengan Down Syndrom lewat program talkshow itu. Saya kembali diingakan bahwa bahkan galaksi Bimasakti pun hanyalah titik kecil di hamparan jagat raya yang maha luas.


Rabu, 18 Maret 2015

Interaksi | #MaretMenulis 16

Apa yang sebenarnya kita butuhkan setelah seharian penuh beraktifitas? Pasti jawaban yang pertama kali muncul adalah beristirahat atau tidur. Itu pasti, namun menurut saya ada satu hal kecil yang harus dilakukan sebelum kita beristirahat.

Jika tidak benar-benar amat sangat lelah, rasanya tak ada salahnya untuk mengajak beberapa teman untuk mampir di sebuah coffee shop, lesehan, atau sekedar warung burjo. Tinggalkan sejenak pikiran tentang pekerjaan, lalu berbincanglah.

Menurut saya, kegiatan semacam ini bisa menjadi penetralisir dan penyeimbang hidup kita. Sentuhan dan interaksi dengan kerabat dekat  bisa membuat kita kembali menjadi manusia setelah seharian penuh menghamba pada laptop dan berbagai berkas pekerjaan yang menumpuk.

Sebenarnya hal ini tidak harus dilakukan di luar jam kerja. Saat berada di kantor pun, kita tetap bisa menyeimbangkan diri dengan berinteraksi dengan rekan kerja. Jangan biarkan diri terkurung dalam kubikel dan terlalu lama berurusan dengan komputer.


Intinya, tidak masalah menjadi seorang workaholic, namun jangan lupakan untuk melakukan detosifikasi dengan berinteraksi dengan sesama manusia.

Selasa, 17 Maret 2015

Zodiak | #MaretMenulis 14

Percaya ramalan bintang atau zodiak mungkin adalah hal yang konyol dan menggilikan bagi sebagian orang. Saya pun punya pikiran yang sama. Ramalan bintang memang sepertinya hanya mempan bagi remaja-remaja puber penuh gejolak yang sedang mencari jati diri.



Bagaimana dengan pembagian karakter berdasarkan zodiak? Salah satu teman pernah menyebutkan di Path-nya bahwa konyol jika kita percaya bahwa rasi bintang bisa menentukan karakter dan jalan hidup seseorang.  Saya setuju, mustahil jika susunan rasi bintang yang jaraknya entah-sekian-juta tahun cahaya itu bisa mempengaruhi hidup kita. Untuk menanggapi urusan perbintangan ini rasanya kita harus melihat dari sudut pandang yang berbeda.

Coba kita kumpulkan beberapa orang dengan zodiak yang sama, katakanlah Leo, pasti mereka paling tidak akan berbagi kesamaan dalam hal: senang menjadi pusat perhatian, agak angkuh, dan bossy. Coba dengan zodiak yang lain, misalnya Aquarius, saya yakin mereka akan berbagi kesamaan dalam hal: sifat yang ramah, menjaga hubungan baik dengan semua orang, dan susah untuk mengatakan tidak saat dimintai bantuan. Pembagian karakter berdasarkan zodiak ini menurut saya bukanlah ramalan, ini adalah sebuah pembagian yang sistematis dan bisa sangat membantu untuk mengenal karakter seseorang.

Saya sendiri sudah tak ingat sejak kapan saya mulai menggunakan zodiak sebagai alat bantu untuk mengenal orang baru, namun yang jelas hal ini akan sangat berguna ketika kita akan membentuk sebuah tim kerja yang solid.

Tidak bisa dipungkiri, ada beberapa zodiak yang memang punya karakter pekerja keras, ada yang pemikir, ada yang tidak takut untuk mengungkapkan pendapat, dan ada juga zodiak yang punya karakter sangat perasa alias mudah sakit hati. Dengan patokan ini, akan lebih mudah bagi kita untuk memahami orang-orang di sekeliling kita.

Pembagian karakter berdasarkan zodiak memang bukan hal yang mutlak, karena masih ada pembagian karakter berdasarkan shio, golongan darah, dan sebagainya. Memang akan makin kompleks saat kita mencoba membaca karakter seseorang dari zodiak, shio, dan golongan darah sekaligus, karena akan muncul puluhan bahkan mungkin ratusan kemungkinan kombinasi karakter dari situ. Jalan mudahnya, gunakan saja salah satu. Tidak mungkin bukan, mengunakan gunting, cutter, dan pisau pada saat bersamaan?




----
Iya, harus diakui cari ini memang juga ampuh untuk urusan percintaan. Kita akan lebih mudah memahami karakter pacar atau gebetan dan tahu bagaimana mengambil hati mereka.

Senin, 16 Maret 2015

Komentar | #MaretMenulis 13

Entah sudah berapa orang yang berkomentar tentang tato yang saya miliki. Tato aksara Jawa di lengan kanan yang sebenarnya adalah nama lahir saya selalu saja dibaca ha-na-ca-ra-ka—entah dengan maksud bercanda atau menyinggung—dan tato di lengan kiri saya yang merupakan penggalan dari ayat kitab Ayub 37, selalu dikomentari mirip cetakan koran atau berita kehilangan.

Kadang memang terlintas, apa perlu menutup tato tersebut dengan tato lain yang lebih keren agar tidak banyak dikomentari; namun setelah dipikir lagi, rasanya itu tidak akan ada gunanya. Orang-orang pasti akan selalu punya komentar tentang apapun yang kita lakukan.






---

Tulisan pendek ini bisa jadi sebuah tulisan keputusasaan karena di hari ke 17 #MaretMenulis, baru ada 13 tulisan yang muncul di blog. 

Rabu, 11 Maret 2015

Istimewa | #MaretMenulis 11

Banyak  orang mempertanyakan, akankah Jogja tetap istimewa setelah berbagai bangunan beton dibiarkan menjamur beberapa tahun belakangan ini. Akankah Jogja tetap berhati nyaman, atau berhenti nyaman?

Menurut saya, sampai kapanpun Jogja akan tetap istimewa; istimewa karena akhirnya memiliki apartment yang menjulang tinggi dan pusat perbelanjaan super besar, istimewa karena masih memiliki Keraton dan bebrbagai bangunan cagar budaya yang mungkin sewaktu-waktu bisa berubah menjadi hotel berbintang, istimewa karena langitnya berhias reklame raksasa dan kabel-kabel listrik, istimewa karena kendaraan bermotor berjejal di jalanan hingga tak ada lagi tempat bagi sepeda dan becak, dan berbagai keistimewaan lainnya.
Istimewa?




Tulisan di atas adalah catatan kebimbangan seorang warga Jogja dari generasi peralihan yang gembira melihat masa depan kota kelahirannya yang metropolis, dan pada saat yang bersamaan khawatir anak cucunya tidak akan bisa lagi menikmati tanah leluhur mereka yang "berhati nyaman".

Senin, 09 Maret 2015

Anxiety | #MaretMenulis 9

Bepergian sendiri ke luar Jogja adalah hal terakhir yang ingin saya lakukan. Jika terpaksa, saya harus memastikan semuanya benar-benar terencana dengan baik; tiket pulang-pergi, penginapan, itenerary, dan sebagainya.

Selalu ada kekhawatiran yang berlebihan saat saya harus melakukan perjalanan sendirian. Saya bisa bolak-balik membuka dompet atau tas untuk memeriksa tiket, apakah saya berada di jalur atau gerbang yang benar, lalu saya akan duduk dan mengingat-ingat apakah ada barang yang tertinggal atau tidak, kadang saya akan membuka tas dan meraba untuk sekedar memastikan semua barang bawaan ada di sana, kemudian saya akan bolak-balik melihat jam tangan dan jam di ruang tunggu, lalu melihat sekeliling sambil membayangkan siapakah yang akan duduk di sebelah saya nanti, dan mengulangi semua dari awal, mungkin dengan ditambahkan beberapa kali ingin ke toilet.

Saya selalu iri dengan para backpacker yang bisa menjelajah hingga ke berbagai belahan dunia seorang diri. Terlalu muluk sepertinya jika ingin melakukan hal yang sama, bagaimana tidak, untuk sekedar pergi ke Solo atau Semarang sendirian saja saya sudah cukup gelisah, apalagi ke luar negeri  yang sama sekali asing bagi saya.
Travel anxiety, begitulah sebutannya. Kegelisahan, ketakutan, kekhawatiran saat akan bepergian.
Travel anxiety is such a complex issue that some people have the anxiety without even realizing it. There are those that find that they'll make an effort to avoid travelling as best they can (like not buying a ticket or thinking up excuses) because the idea of travelling makes them anxious, yet they do not even realize that they have travel anxiety in the first place. (https://www.calmclinic.com/anxiety/types/travel)
Dari beberapa penyebab travel anxiety yang disebutkan di calmclinic.com, yang paling cocok dengan saya adalah Home Comfort. Jauh dari tempat yang membuat kita merasa aman dan nyaman bisa menjadi sumber tekanan yang bagi beberapa orang akan berujung pada stress. Aneh memang, saat kita berencana untuk berlibur ke luar kota untuk melepaskan stress, justru bagi sebagian orang yang mengidap Travel Anxiety, hal ini akan menjadi beban pikiran tersendiri.

Saya sendiri tidak berencana terlalu lama menjadi pengidap Travel Anxiety. Beruntungnya beberapa pekerjaan mengharuskan saya untuk bepergian ke luar kota sendirian. Walaupun hanya sekedar ke Solo, Jakarta, atau Bali, yang jelas ada kepuasan tersendiri saat saya bisa membuktikan pada si penakut dalam diri saya, bahwa kita ketakutan itu tidak nyata. Paksaan, kadang itulah yang dibutuhkan untuk mengalahkan rasa takut.

..dan saya tidak takut untuk mengalahkan rasa takut.


Vulnicura | #MaretMenulis 8



Sepertinya lagu Bachelorette-lah yang membuat saya jatuh cinta pada Bjork. Video klip yang menunjukkan sebuah konsep ketidakterbatasan itu sungguh menancap di kepala. 

Saya mulai lebih dalam mengenal Bjork di awal tahun 2000an lewat album Greatest Hits-nya, dan menjadi pengikutnya sejak saat itu.  Ada perasaan aneh dan emosi yang bercampur aduk saat mendengarkan lagu-lagu Bjork; kita seperti tidak tahu sedang berada di mana, di masa apa.

Secara personal, saya lebih suka Bjork versi 90an. Bjork yang melodis, orchestral, dan seperti manusia biasa. Bukan berarti saya tidak suka Bjork versi eksperimental, buktinya, saya sangat menikmati album Medulla. 

Ketika mengetahui bahwa Bjork akan merilis album baru, yang kesembilan, saya agak ragu apakah saya bisa langsung menikmatinya. Apakah saya butuh waktu beberapa saat untuk mencerna album tersebut—seperti yang terjadi pada Volta—sampai akhirnya bisa benar-benar menikmatinya?
Jawabannya ternyata tidak. Baru malam ini akhirnya saya mendengarkan Vulnicura, dan saya langsung suka. Saya jatuh cinta. 

Bjork yang melodis dan penuh orkestrasi akhirnya kembali! Mendengarkan Vulnicura seperti membawa kita kembali pada Bjork di era 90an, namun dalam versi yang lebih ghotic dan ghostly; bisa dipahami karena album ini memang merupakan kisah perpisahan antara Bjork dan pasangannya, Matthew Barney. 

The context, if you want it, is that Björk recently separated from her longtime romantic partner, the artist Matthew Barney, with whom she has a 12-year-old daughter. She then "documented this in pretty much accurate emotional chronology," as she wrote on Facebook shortly after the album was rushed to iTunes in response to a leak. (http://www.theatlantic.com/entertainment/archive/2015/01/bjorks-vulnicura-is-the-definition-of-devastating/384735/)


Di sisi lain, Vulnicura juga ternyata terapi penyembuhan luka—atau mungkin pelarian—bagi Bjork.

Vulnicura, meaning ‘Cure for Wounds’ in Greek (vulnus meaning ‘wound’ plus cura  meaning ‘cure’)..  (http://icelandreview.com/stuff/reviews/2015/01/28/bjorks-vulnicura)

Beruntunglah para seniman yang bisa membuat luka dan kepedihan menjadi sebuah karya seni yang begitu indah.

Sabtu, 07 Maret 2015

#MaretMenulis Sejauh Ini

Hari ketujuh lebih sedikit. Berikut ini alamat blog yang didapatkan dari hasil pencarian tagar #MaretMenulis. Urutan bukan berdasarkan peringkat, ya, teman-teman.


Adakah alamat blogmu di sini? ;)

Idoling | #MaretMenulis 6

Beberapa hari yang lalu saya sepintas membaca twit dari sebuah majalah remaja cowok yang mengatakan bahwa “idoling” merupakan bentuk dari pencarian jatidiri remaja.

Tiba-tiba saya teringat kembali ketika saya duduk di bangku SMP dan SMA. Walaupun tidak pernah benar-benar mengidolakan satu musisi atau band, tapi saat itu saya juga melakukan hal yang rasanya cukup wajar juga dilakukan oleh remaja pada masanya: membeli majalah remaja, menempel poster di tembok kamar, menjadikan pin-up yang didapat dari halaman tengah majalah remaja sebagai cover depan binder note, menghafal lagu-lagu top 40, termasuk menambahkan nama belakang musisi idola saat kita menuliskan nama. Nama belakang saya dulu Chisholm, kadang Corr. Entah apa masih ada anak-anak generasi sekarang yang mengenal nama itu.

Dimulai dengan memuja, tahap selanjutnya adalah menjadi. Ya, menjadi sang idola. Ketika itu yang paling populer adalah tindik dan cat rambut. Remaja pria memasang tindik di kuping kiri, remaja perempuan menambah tindik hingga dua atau tiga lubang di tiap kuping. Saya sendiri mendapatkan tindik pertama saat SMA, di tulang rawan kuping kiri bagian atas.

Sedangkan untuk masalah rambut, tentu saja warna yang populer adalah pirang (melalui proses bleaching, harga bleach relatif murah), burgundy (harga agak mahal, jadi penyelesaiannya adalah dengan patungan), dan blue black (harga setara burgundy namun hasil tak ada bedanya dengan sebelum mewana rambut). Area kepala yang dicat pun tidak seluruhnya, biasanya hanya bagian atas (atau bagian akar rambutnya saja jika model rambut belah tengah) atau bagian jambul (atau belahan depan kanan dan kiri jika model rambut belah tengah). Saya sendiri pertama kali mewarna rambut adalah saat kelas 3 SMP dan mulai tergila-gila dengan cat rambut saat kuliah.

Jika melihat kembali ke masa itu, setiap orang yang sekarang sudah beranjak dewasa pasti akan malu atau pura-pura tidak mengenali diri sendiri ketika foto-foto pada masa pencarian jatidiri itu dengan sengaja diunggah oleh salah satu teman dekat kita.
Sebenarnya tidak ada yang salah di masa pencarian jati diri itu, karena semua orang tidak mungkin tidak mengalaminya...



...yang salah adalah kenapa kita harus mengabadikannya dalam foto!





NB. Terimakasih untuk Mita dan Timmy yang menginspirasi tulisan ini.

Rabu, 04 Maret 2015

Antara | #MaretMenulis 3

Sebagai seseorang yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di Yogyakarta, saya merasa menjadi manusia tanggung. Saya ingat saat pertama kali menginjakkan kaki di Ibukota dan begitu terpesona dengan kemetropolitan kota yang sempat menjadi tujuan karier saya.

Gedung-gedung tinggi, jalan layang yang bertingkat, pusat perbelanjaan yang berjajar di sepanjang jalan, Tugu Monas, jalan tol yang sangat panjang, Dunia Fantasi.. semua berba besar dan tinggi jika dibandingkan dengan apa yang saya lihat dan kenal di kota kelahiran saya. Itu adalah saat saya masih duduk di Sekolah Dasar.

Waktu berjalan dan saya masih jatuh cinta pada Jakarta, hingga akhirnya datanglah cinta kedua. Saya menginjakkan kaki di Pulau Dewata di tahun kedua masa kuliah.

Saya begitu kagum dengan Bali yang modern namun tidak kehilangan budaya asli dan sisi tradisionalnya: canang yang diletakkan di depan pintu masuk hotel berbintang, pria Bali yang udeng yang berbincang dengan peselancar bule, atau suara gamelan dari Banjar dan musik dari cafe yang kadang bersahutan di sepanjang Legian.

Mungkin sebenarnya tidak proporsional jika membandingnkan antara Jakarta dan Bali—kota dan pulau—namun memang dua daerah inilah yang membuat saya merasa menjadi manusia tanggung. Setelah menghabiskan waktu—sejauh ini 30 tahun—di Jogja, saya merasa tidak benar-benar bisa membenci kehidupan metropolitan Jakarta, atau benar-benar menyukai Bali yang selalu tersenyum saat kita menghabisakan waktu liburan di sana.

Saya rasa memang Kota Gudeg inilah yang paling sesuai bagi saya. Selain karena menjadi kota kelahiran, di Jogja  saya masih bisa merasakan tradisi dan budaya asli (walau tidak sekental seperti di Bali) saat berada di kawasan Keraton, serta saya masih bisa membangun suasana liburan di pantai berpasir putih dengan berkendara selama dua jam ke abupaten Gunungkidul. Di sisi lain, saya juga masih bisa mencicipi sedikit bumbu metropolis Jakarta ketika nongkrong di beberapa cafe baru, atau ketika melihat iklan pembangunan apartment dan condotel saat terjebak macet di Ringroad Utara (dan mungkin akan segera lebih metropolis setelah beberapa mall baru mulai beroperasi).


Senin, 02 Maret 2015

Seandainya | #MaretMenulis 2

Jangan menyalahkan siapapun atau apapun. Kalimat ini berlaku di mana pun, termasuk saat kita menyadari bahwa kita terlalu banyak membuang waktu  dengan berlama-lama di depan tv, nongkrong di sana-sini atas nama sebuah kejenuhan dan butuh hiburan, atau memang benar-benar melewatkan waktu dengan begitu saja, yang akhirnya berakhir pada sebuah kegagalan memenuhi target yang kita ciptaka sendiri.

Saya mengalami situasi ketika kuliah dulu. Dulu sekali. Saya membuang cukup banyak waktu dengan hal apapun yang biasa saya lakukan asal tidak terkait dengan urusan perkuliahan: nongkrong sampai subuh, menggabar, mendengarkan musik, dan yang paling sering saya jadikan kambing hitam adalah dunia radio yang membawa saya hingga sejauh ini.

Saya menjalani status sebagai mahasiswa Sastra Inggris selama tujuh setengah tahun. Bukan hal yang membanggakan, tapi entah kenapa kadang saya merasa puas ketika menceritakan durasi masa kuliah saya ini.

Jika menengok kebelakang lagi, akhirnya yang muncul adalah kata “seandainya”. Seandainya dulu lebih rajin kuliah, seandainya dulu tidak menghabiskan waktu terlalu banyak di radio kampus, sandainya dulu bisa mengerjakan skripsi lebih cepat, seandainya dulu tidak sembrono, seandanya, seandainya, seandainya sampai akhir zaman.

Sekarang tak ada lagi gunanya berandai-andai. Hmm.. mungkin sesekali boleh, tapi tetap tak ada gunanya. Bukankah apa yang terjadi di masa yang lalu itulah yang menjadikan siapa diri kita sekarang?

If I knew then, what  I know now.


Minggu, 01 Maret 2015

Adrenalin | #MaretMenulis 1


#MaretMenulis ini tercetus begitu saja saat kami berempat sedang dalam liburan singkat kami di kawasan pesisir Kabupaten Gunungkidul.

Kevin, yang paling muda diantara kami, yang mendeklarasikan dirinya sebagai seorang backpacker, kami bully habis-habisan karena membuang begitu saja pengalamannya menjadi backpacker tanpa membuat dokumentasi dalam bentuk tulisan alias blog.

Juris, yang paling sentosa diantara kami *dilihat dari ukuran tubuhnya*, yang kebetulan seorang fashion blogger, langsung mengintimidasi Kevin untuk segera mengaktifkan kembali blognya yang ternyata baru berisi satu tulisan.

Pepen, yang paling senior diantara kami *dilihat dari usianya* pun tak ketinggalan memanas-manasi Kevin.

Saya, yang paling pelor alias nempel molor *paling tidak begitu kata sebagian besar teman-teman saya* ikut menimpali dengan sekenanya. Sebenarnya ketika itu saya sedikit tau diri, karena dua blog saya pun: Felix of Jogja dan The Words Playground juga sudah hiatus cukup lama, jadi sepertinya agak tidak pantas kalau saya terlalu banyak memberi kuliah dengan materi yang sama.

Setalah obrolan mulai melebar, akhirnya tercetuslah ide untuk kembali aktif menulis di blog masing-masing. Entah siapa yang mulai duluan menyulut ide itu, tapi singkat kata, lahirlah #MaretMenulis tanpa operasi caesar.

Setelah dipikir-pikir lagi, akhirnya saya berkesimpulan, cara termudah untuk membuat seseorang melalukan sesuatu adalah dengan saling menantang. Konon katanya, salah satu dasar sifat manusia adalah suka berkompetisi. Tidak mau kalah. Malu kalau sampai kalah. Mungkin itulah mengapa kami berempat jadi seperti punya semangat lagi untuk menulis di #MaretMenulis. Berkompetisi menulis.

Walaupun dengan embel-embel "menantang konsistensi diri", tapi saya yakin, setiap orang yang nantinya akan menikmati adrenalin #MaretMenulis, pasti punya paling tidak secuil keangkuhan untuk bisa mengalahkan penulis lain selama bulan Maret ini.








NB. Adrenalin #MaretMenulis hari pertama ini saya nikmati di foodcourt Beachwalk, Kuta, dua jam menjelang tengah malam. Selamat menikmati adranalin #MaretMenulis selanjutnya.