Senin, 09 Maret 2015

Anxiety | #MaretMenulis 9

Bepergian sendiri ke luar Jogja adalah hal terakhir yang ingin saya lakukan. Jika terpaksa, saya harus memastikan semuanya benar-benar terencana dengan baik; tiket pulang-pergi, penginapan, itenerary, dan sebagainya.

Selalu ada kekhawatiran yang berlebihan saat saya harus melakukan perjalanan sendirian. Saya bisa bolak-balik membuka dompet atau tas untuk memeriksa tiket, apakah saya berada di jalur atau gerbang yang benar, lalu saya akan duduk dan mengingat-ingat apakah ada barang yang tertinggal atau tidak, kadang saya akan membuka tas dan meraba untuk sekedar memastikan semua barang bawaan ada di sana, kemudian saya akan bolak-balik melihat jam tangan dan jam di ruang tunggu, lalu melihat sekeliling sambil membayangkan siapakah yang akan duduk di sebelah saya nanti, dan mengulangi semua dari awal, mungkin dengan ditambahkan beberapa kali ingin ke toilet.

Saya selalu iri dengan para backpacker yang bisa menjelajah hingga ke berbagai belahan dunia seorang diri. Terlalu muluk sepertinya jika ingin melakukan hal yang sama, bagaimana tidak, untuk sekedar pergi ke Solo atau Semarang sendirian saja saya sudah cukup gelisah, apalagi ke luar negeri  yang sama sekali asing bagi saya.
Travel anxiety, begitulah sebutannya. Kegelisahan, ketakutan, kekhawatiran saat akan bepergian.
Travel anxiety is such a complex issue that some people have the anxiety without even realizing it. There are those that find that they'll make an effort to avoid travelling as best they can (like not buying a ticket or thinking up excuses) because the idea of travelling makes them anxious, yet they do not even realize that they have travel anxiety in the first place. (https://www.calmclinic.com/anxiety/types/travel)
Dari beberapa penyebab travel anxiety yang disebutkan di calmclinic.com, yang paling cocok dengan saya adalah Home Comfort. Jauh dari tempat yang membuat kita merasa aman dan nyaman bisa menjadi sumber tekanan yang bagi beberapa orang akan berujung pada stress. Aneh memang, saat kita berencana untuk berlibur ke luar kota untuk melepaskan stress, justru bagi sebagian orang yang mengidap Travel Anxiety, hal ini akan menjadi beban pikiran tersendiri.

Saya sendiri tidak berencana terlalu lama menjadi pengidap Travel Anxiety. Beruntungnya beberapa pekerjaan mengharuskan saya untuk bepergian ke luar kota sendirian. Walaupun hanya sekedar ke Solo, Jakarta, atau Bali, yang jelas ada kepuasan tersendiri saat saya bisa membuktikan pada si penakut dalam diri saya, bahwa kita ketakutan itu tidak nyata. Paksaan, kadang itulah yang dibutuhkan untuk mengalahkan rasa takut.

..dan saya tidak takut untuk mengalahkan rasa takut.


Vulnicura | #MaretMenulis 8



Sepertinya lagu Bachelorette-lah yang membuat saya jatuh cinta pada Bjork. Video klip yang menunjukkan sebuah konsep ketidakterbatasan itu sungguh menancap di kepala. 

Saya mulai lebih dalam mengenal Bjork di awal tahun 2000an lewat album Greatest Hits-nya, dan menjadi pengikutnya sejak saat itu.  Ada perasaan aneh dan emosi yang bercampur aduk saat mendengarkan lagu-lagu Bjork; kita seperti tidak tahu sedang berada di mana, di masa apa.

Secara personal, saya lebih suka Bjork versi 90an. Bjork yang melodis, orchestral, dan seperti manusia biasa. Bukan berarti saya tidak suka Bjork versi eksperimental, buktinya, saya sangat menikmati album Medulla. 

Ketika mengetahui bahwa Bjork akan merilis album baru, yang kesembilan, saya agak ragu apakah saya bisa langsung menikmatinya. Apakah saya butuh waktu beberapa saat untuk mencerna album tersebut—seperti yang terjadi pada Volta—sampai akhirnya bisa benar-benar menikmatinya?
Jawabannya ternyata tidak. Baru malam ini akhirnya saya mendengarkan Vulnicura, dan saya langsung suka. Saya jatuh cinta. 

Bjork yang melodis dan penuh orkestrasi akhirnya kembali! Mendengarkan Vulnicura seperti membawa kita kembali pada Bjork di era 90an, namun dalam versi yang lebih ghotic dan ghostly; bisa dipahami karena album ini memang merupakan kisah perpisahan antara Bjork dan pasangannya, Matthew Barney. 

The context, if you want it, is that Björk recently separated from her longtime romantic partner, the artist Matthew Barney, with whom she has a 12-year-old daughter. She then "documented this in pretty much accurate emotional chronology," as she wrote on Facebook shortly after the album was rushed to iTunes in response to a leak. (http://www.theatlantic.com/entertainment/archive/2015/01/bjorks-vulnicura-is-the-definition-of-devastating/384735/)


Di sisi lain, Vulnicura juga ternyata terapi penyembuhan luka—atau mungkin pelarian—bagi Bjork.

Vulnicura, meaning ‘Cure for Wounds’ in Greek (vulnus meaning ‘wound’ plus cura  meaning ‘cure’)..  (http://icelandreview.com/stuff/reviews/2015/01/28/bjorks-vulnicura)

Beruntunglah para seniman yang bisa membuat luka dan kepedihan menjadi sebuah karya seni yang begitu indah.