Senin, 02 Maret 2015

Seandainya | #MaretMenulis 2

Jangan menyalahkan siapapun atau apapun. Kalimat ini berlaku di mana pun, termasuk saat kita menyadari bahwa kita terlalu banyak membuang waktu  dengan berlama-lama di depan tv, nongkrong di sana-sini atas nama sebuah kejenuhan dan butuh hiburan, atau memang benar-benar melewatkan waktu dengan begitu saja, yang akhirnya berakhir pada sebuah kegagalan memenuhi target yang kita ciptaka sendiri.

Saya mengalami situasi ketika kuliah dulu. Dulu sekali. Saya membuang cukup banyak waktu dengan hal apapun yang biasa saya lakukan asal tidak terkait dengan urusan perkuliahan: nongkrong sampai subuh, menggabar, mendengarkan musik, dan yang paling sering saya jadikan kambing hitam adalah dunia radio yang membawa saya hingga sejauh ini.

Saya menjalani status sebagai mahasiswa Sastra Inggris selama tujuh setengah tahun. Bukan hal yang membanggakan, tapi entah kenapa kadang saya merasa puas ketika menceritakan durasi masa kuliah saya ini.

Jika menengok kebelakang lagi, akhirnya yang muncul adalah kata “seandainya”. Seandainya dulu lebih rajin kuliah, seandainya dulu tidak menghabiskan waktu terlalu banyak di radio kampus, sandainya dulu bisa mengerjakan skripsi lebih cepat, seandainya dulu tidak sembrono, seandanya, seandainya, seandainya sampai akhir zaman.

Sekarang tak ada lagi gunanya berandai-andai. Hmm.. mungkin sesekali boleh, tapi tetap tak ada gunanya. Bukankah apa yang terjadi di masa yang lalu itulah yang menjadikan siapa diri kita sekarang?

If I knew then, what  I know now.