Sepertinya lagu Bachelorette-lah yang membuat saya jatuh
cinta pada Bjork. Video klip yang menunjukkan sebuah konsep ketidakterbatasan
itu sungguh menancap di kepala.
Saya mulai lebih dalam mengenal Bjork di awal tahun 2000an
lewat album Greatest Hits-nya, dan menjadi pengikutnya sejak saat itu. Ada perasaan aneh dan emosi yang bercampur
aduk saat mendengarkan lagu-lagu Bjork; kita seperti tidak tahu sedang berada
di mana, di masa apa.
Secara personal, saya lebih suka Bjork versi 90an. Bjork
yang melodis, orchestral, dan seperti manusia biasa. Bukan berarti saya tidak
suka Bjork versi eksperimental, buktinya, saya sangat menikmati album Medulla.
Jawabannya ternyata tidak. Baru malam ini akhirnya saya
mendengarkan Vulnicura, dan saya langsung suka. Saya jatuh cinta.
Bjork yang melodis dan penuh orkestrasi akhirnya kembali!
Mendengarkan Vulnicura seperti membawa kita kembali pada Bjork di era 90an,
namun dalam versi yang lebih ghotic dan ghostly; bisa dipahami karena album ini
memang merupakan kisah perpisahan antara Bjork dan pasangannya, Matthew Barney.
The context, if you want it, is that Björk recently separated from her longtime romantic partner, the artist Matthew Barney, with whom she has a 12-year-old daughter. She then "documented this in pretty much accurate emotional chronology," as she wrote on Facebook shortly after the album was rushed to iTunes in response to a leak. (http://www.theatlantic.com/entertainment/archive/2015/01/bjorks-vulnicura-is-the-definition-of-devastating/384735/)
Di sisi lain, Vulnicura juga ternyata terapi penyembuhan
luka—atau mungkin pelarian—bagi Bjork.
Vulnicura, meaning ‘Cure for Wounds’ in Greek (vulnus meaning ‘wound’ plus cura meaning ‘cure’).. (http://icelandreview.com/stuff/reviews/2015/01/28/bjorks-vulnicura)
Beruntunglah para seniman yang bisa membuat luka dan
kepedihan menjadi sebuah karya seni yang begitu indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar