Sabtu, 07 Maret 2015

Idoling | #MaretMenulis 6

Beberapa hari yang lalu saya sepintas membaca twit dari sebuah majalah remaja cowok yang mengatakan bahwa “idoling” merupakan bentuk dari pencarian jatidiri remaja.

Tiba-tiba saya teringat kembali ketika saya duduk di bangku SMP dan SMA. Walaupun tidak pernah benar-benar mengidolakan satu musisi atau band, tapi saat itu saya juga melakukan hal yang rasanya cukup wajar juga dilakukan oleh remaja pada masanya: membeli majalah remaja, menempel poster di tembok kamar, menjadikan pin-up yang didapat dari halaman tengah majalah remaja sebagai cover depan binder note, menghafal lagu-lagu top 40, termasuk menambahkan nama belakang musisi idola saat kita menuliskan nama. Nama belakang saya dulu Chisholm, kadang Corr. Entah apa masih ada anak-anak generasi sekarang yang mengenal nama itu.

Dimulai dengan memuja, tahap selanjutnya adalah menjadi. Ya, menjadi sang idola. Ketika itu yang paling populer adalah tindik dan cat rambut. Remaja pria memasang tindik di kuping kiri, remaja perempuan menambah tindik hingga dua atau tiga lubang di tiap kuping. Saya sendiri mendapatkan tindik pertama saat SMA, di tulang rawan kuping kiri bagian atas.

Sedangkan untuk masalah rambut, tentu saja warna yang populer adalah pirang (melalui proses bleaching, harga bleach relatif murah), burgundy (harga agak mahal, jadi penyelesaiannya adalah dengan patungan), dan blue black (harga setara burgundy namun hasil tak ada bedanya dengan sebelum mewana rambut). Area kepala yang dicat pun tidak seluruhnya, biasanya hanya bagian atas (atau bagian akar rambutnya saja jika model rambut belah tengah) atau bagian jambul (atau belahan depan kanan dan kiri jika model rambut belah tengah). Saya sendiri pertama kali mewarna rambut adalah saat kelas 3 SMP dan mulai tergila-gila dengan cat rambut saat kuliah.

Jika melihat kembali ke masa itu, setiap orang yang sekarang sudah beranjak dewasa pasti akan malu atau pura-pura tidak mengenali diri sendiri ketika foto-foto pada masa pencarian jatidiri itu dengan sengaja diunggah oleh salah satu teman dekat kita.
Sebenarnya tidak ada yang salah di masa pencarian jati diri itu, karena semua orang tidak mungkin tidak mengalaminya...



...yang salah adalah kenapa kita harus mengabadikannya dalam foto!





NB. Terimakasih untuk Mita dan Timmy yang menginspirasi tulisan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar