Senin, 02 Maret 2015

Seandainya | #MaretMenulis 2

Jangan menyalahkan siapapun atau apapun. Kalimat ini berlaku di mana pun, termasuk saat kita menyadari bahwa kita terlalu banyak membuang waktu  dengan berlama-lama di depan tv, nongkrong di sana-sini atas nama sebuah kejenuhan dan butuh hiburan, atau memang benar-benar melewatkan waktu dengan begitu saja, yang akhirnya berakhir pada sebuah kegagalan memenuhi target yang kita ciptaka sendiri.

Saya mengalami situasi ketika kuliah dulu. Dulu sekali. Saya membuang cukup banyak waktu dengan hal apapun yang biasa saya lakukan asal tidak terkait dengan urusan perkuliahan: nongkrong sampai subuh, menggabar, mendengarkan musik, dan yang paling sering saya jadikan kambing hitam adalah dunia radio yang membawa saya hingga sejauh ini.

Saya menjalani status sebagai mahasiswa Sastra Inggris selama tujuh setengah tahun. Bukan hal yang membanggakan, tapi entah kenapa kadang saya merasa puas ketika menceritakan durasi masa kuliah saya ini.

Jika menengok kebelakang lagi, akhirnya yang muncul adalah kata “seandainya”. Seandainya dulu lebih rajin kuliah, seandainya dulu tidak menghabiskan waktu terlalu banyak di radio kampus, sandainya dulu bisa mengerjakan skripsi lebih cepat, seandainya dulu tidak sembrono, seandanya, seandainya, seandainya sampai akhir zaman.

Sekarang tak ada lagi gunanya berandai-andai. Hmm.. mungkin sesekali boleh, tapi tetap tak ada gunanya. Bukankah apa yang terjadi di masa yang lalu itulah yang menjadikan siapa diri kita sekarang?

If I knew then, what  I know now.


Minggu, 01 Maret 2015

Adrenalin | #MaretMenulis 1


#MaretMenulis ini tercetus begitu saja saat kami berempat sedang dalam liburan singkat kami di kawasan pesisir Kabupaten Gunungkidul.

Kevin, yang paling muda diantara kami, yang mendeklarasikan dirinya sebagai seorang backpacker, kami bully habis-habisan karena membuang begitu saja pengalamannya menjadi backpacker tanpa membuat dokumentasi dalam bentuk tulisan alias blog.

Juris, yang paling sentosa diantara kami *dilihat dari ukuran tubuhnya*, yang kebetulan seorang fashion blogger, langsung mengintimidasi Kevin untuk segera mengaktifkan kembali blognya yang ternyata baru berisi satu tulisan.

Pepen, yang paling senior diantara kami *dilihat dari usianya* pun tak ketinggalan memanas-manasi Kevin.

Saya, yang paling pelor alias nempel molor *paling tidak begitu kata sebagian besar teman-teman saya* ikut menimpali dengan sekenanya. Sebenarnya ketika itu saya sedikit tau diri, karena dua blog saya pun: Felix of Jogja dan The Words Playground juga sudah hiatus cukup lama, jadi sepertinya agak tidak pantas kalau saya terlalu banyak memberi kuliah dengan materi yang sama.

Setalah obrolan mulai melebar, akhirnya tercetuslah ide untuk kembali aktif menulis di blog masing-masing. Entah siapa yang mulai duluan menyulut ide itu, tapi singkat kata, lahirlah #MaretMenulis tanpa operasi caesar.

Setelah dipikir-pikir lagi, akhirnya saya berkesimpulan, cara termudah untuk membuat seseorang melalukan sesuatu adalah dengan saling menantang. Konon katanya, salah satu dasar sifat manusia adalah suka berkompetisi. Tidak mau kalah. Malu kalau sampai kalah. Mungkin itulah mengapa kami berempat jadi seperti punya semangat lagi untuk menulis di #MaretMenulis. Berkompetisi menulis.

Walaupun dengan embel-embel "menantang konsistensi diri", tapi saya yakin, setiap orang yang nantinya akan menikmati adrenalin #MaretMenulis, pasti punya paling tidak secuil keangkuhan untuk bisa mengalahkan penulis lain selama bulan Maret ini.








NB. Adrenalin #MaretMenulis hari pertama ini saya nikmati di foodcourt Beachwalk, Kuta, dua jam menjelang tengah malam. Selamat menikmati adranalin #MaretMenulis selanjutnya.

Minggu, 22 Februari 2015

Menuju Maret Menulis

“It’s been a long time.” atau “Terakhir kali menulis...” atau kalimat apapun yang artinya sejenis.

Kalimat standar buat penulis blog yang sudah lama sekali tidak mengklik icon “New post” dengan alasan sibuk kerja atau kuliah. Padahal kalau dipikir-pikir, setiap orang selalu punya akhir pekan dan tanggal merah untuk duduk selama paling tidak setengah jam di depan laptop utuk menuliskan apapun yang terlintas di pikirannya saat itu. Susah? Jawabannya tidak, tapi bagaimanapun juga, selalu alasan untuk tidak melakukan sesuatu, bukan?

Saya sendiri sudah lupa kapan terakhir kali menulis, tapi menurut tanggal yang tertera di blog ini, posting terakhir saya adalah pada hari 25 Mei 2011. Sungguh hal yang memalukan untuk seseorang yang salah satu mimpinya adalah hidup dari royalti penjualan buku-buku hasil tulisannya.

Blog yang memang dikhususkan untuk “tulisan bebas” ini memang lama tak tersentuh, apalagi setelah saya terlibat dalam Komunitas Fiksimini dan memutuskan untuk membuka satu lapak lagi yang saya khususkan untuk tulisan fiksi. Entah kenapa rasanya saya lebih bisa berpetualang dan meliar lewat cerpen dan puisi ketimbang lewat tulisan-tulisan “nyata” seperti yang ada di blog ini. Walaupun tulisan terakhir saya di lapak satyaadrikrisnugraha.wordpress.com bertanggal 4 Agustus 2014, alias enam bulan yang lalu, tapi paling tidak masih lebih bisa dibanggakan dibandingkan dengan blog yang posting terakhirnya adalah empat tahun yang lalu.

..tapi tenang! Itu semua akan segera berubah, karena di bulan Maret nanti akan ada #MaretMenulis! Iya, satu hari satu tulisan, selama bulan Maret. Peraturannya cuma satu: menulis.
Karena memang tujuannya untuk mengasah kembali kemampuan menulis, jadi tak ada peraturan atau tema khusus. Pokoknya menulis sehari sekali, boleh fiksi, non-fiksi, photoessay, atau apapun, selama bulan Maret. Setelah tulisan sudah jadi, link blog blog bisa dibagikan di Twitter dan diberi hashtag #MaretMenulis. Standard lah, seperti ajang tulis-menulis bulanan yang lain.

Siapapun yang ingin menantang konsistensi diri dalam menulis, boleh ikut bergabung! Sampai bertemu di tanggal 1 Maret!

Rabu, 25 Mei 2011

Roemah Pelantjong




Roemah Pelantjong adalah instalasi retail dengan pernik budaya, bisnis, hiburan, makanan, kerajinan inovatif, batik, sutera, dan masih banyak lagi lainnya. Rencananya pada 18 Juni 2011 Kami akan mendeklarasikan Djogdjakarta sebagai ibu kota terpelan di dunia, dengan pemaknaan pelan sebagai sesuatu yang indah, nikmat, luar biasa.

Pemrakarsa Roemah Pelantjong adalah Kafi Kurnia-si Biang Penasaran dan rekan-rekan pemangku dari Djogdjakarta yang memiliki banyak kreasi kental bernuansa Djogjakarta dan inovatif.

Roemah Pelantjong terletak di Jl. Magelang KM 8 No 89, Yogyakarta.

Rabu, 30 Maret 2011

Satu Jam di Tugu Jogja

Tahun 2011 adalah tahun kedua kota Yogyakarta ikut bergabung dalam Earth Hour. Dengan tim yang bisa dibilang sangat mini, ternyata tidak selalu menghasilkan sesuatu yang mini juga.



Perempatan Tugu Jogja menjadi saksi betapa tidak sedikit warga Jogja yang masih peduli pada lingkungan dan ingin menjadi bagian dalam Earth Hour.
Walau tahun ini perempatan Tugu kembali menjadi pusat Earth Hour Jogja, namun ada juga dua ikon kota yang juga dipadamkan malam itu-Air Mancur Adipura di Jalan Abu Bakar Ali dan Candi Prambanan.

Kawasan Tugu mulai ramai pada pukul 20.00 WIB. Bukan hanya anak muda dari SMA dan Universitas di kota Jogja yang hadir, namun juga komunitas-komunitas yang cukup beragam-beberapa komunitas sepeda, Komunitas Parkour, Fiksimini Jogja (komunitas menulis), Cah Andhong (komunitas blogger Jogja), United Indonesia (komunitas penggemar Manchaster United), Kine Club (komunitas film-maker Universitas Atmajaya Yogyakarta), dan masih banyak lagi.


Acara dibuka oleh MC yang disusul dengan sambutan dari wakil panitia Earth Hour Jogja, Mas Towil, dan dilanjutkan dengan penampilan akustik dari SMA Bopkri 1. Pemadaman Tugu Jogja ditandai dengan hitungan mundur dari angka sepuluh. Saat terdengar teriakan “satu!” serempak, balon-balon berwarna biru-putih-hijau pun dilepaskan ke angkasa oleh para finalis Dimas-Diajeng Jogja, dan kawasan Tugu menjadi gelap. Lilin mulai dinyalakan, termasuk lilin-lilin yang sudah disusun membentuk logo 60+.






Massa yang hadir berkumpul di dua titik, di sisi selatan perempatan Tugu di yang menjadi tempat beraksinya para pengisi acara, dan di sekeliling Tugu sendiri.
Pengisi selanjutnya adalah penampilan akustik dari SMA Stella Duce 2, SMA Bopkri 1, Kingdom Basketball Freestyle, Tari Saman dari SMAN 3, dan ditutup dengan penampilan akustik dari SMA Kolese de Britto.



Kawasan Perempatan Tugu malam itu cukup padat hingga kendaraan bermotor pun harus bersabar saat melintas. Salut untuk para polisi yang ikut membantu mengatur lalu lintas malam itu.

Turut bergabung dalam Earth Hour tahun ini adalah Hotel Sheraton, Ibis, Santika, dan Novotel yang ikut memadamkan lampu.




Foto-foto lain bisa dilihat di Facebook Group Earth Hour Indonesia Jogja

Kamis, 16 Desember 2010

One Hour With Agnes

Kalau Jennifer Lopez sempat menyebut dirinya J.Lo, Christina Aguilera sampai sekarang masih mengibarkan bendera Xtina, kita punya Agnes Monica yang sekarang juga dikenal dengan sebutan Agnezmo (paling tidak begitulah dia menyebut dirinya di akun twitter-nya, @agnezmo).

Alright, so here we go. Jadi akhirnya semalam saya nonton konser (atau mini concert) Agnezmo di salah satu club di Jalan Magelang.
Well, saya bukan tipikal orang yang suka menonton konser, maksud saya, mengantri masuk ke venue, berdesak-desakan, berdiri sepanjang konser sampai pegal, ah, siapa yang mau seperti itu?! *ngaca woi! Kemaren dating konser juga khan?!*

Lalu kenapa akhirnya saya datang ke konser Agnezmo? Begini kisahnya *halah*, jadi seminggu sebeluh hari H konser, sudah banyak ajakan untuk nonton konser bareng, tapi berhubung keuangan tidak memadahi, saya hanya bilang, “Ntar kalau THR turun, aku ikut nonton”. Ternyata sampai Rabu (15/12) malam pun, ATM masih berisi tujuh ratus sekian rupiah. Nah, hari Kamisnya, saya bilang ke diri saya sendiri, “Kalau malam ini ATM keisi, saya bakal nonton Agnes Monica!”

Lha kok ya pas pulang kantor jam 10, saya iseng ngecek ATM via telpon di rumah, dan ternyataaaa… sudah berisi sekian ratus ribu rupiah! Ya sudah tho, janji (pada diri sendiri) harus ditepati. Saya telpon beberapa teman, dan blablabla dan blablabla, dan saya sudah berada di tengah-tengah kerumunan orang-orang yang menunggu neng Agnes. Total rombongan saya ada dua belas orang.

*tengok kanan, tengok kiri*. Ya.. ya.. lengkap semua jenis ada di club malam itu. Kimchil-kimchil, jelas banyaaak; manusia-manusia eksis yang sering beredar, banyak juga; mbak-mbak dengan dandanan super-rempong; mas-mas gay yang berusaha ngondek sesedikit mungkin; sampai mbak-mbak berjilbab yang tampak agak risih berada di dalam club, ada semua. Oh iya, ada beberapa bapak-bapak dan ibu-ibu, plus, ada yang bawa anak balita cobaaaa!!!! (Come on, mommy, it’s not a good thing to put your kid inside a smoke chamber!)

Oke, cukup mengomentari para hadirin dan hadirot. Now, Agnes Monica.

Outfit, menurut saya biasa aja, seperti mau jogging di Sunday Morning UGM, tapiii.. ga ada khan yang sunmor-an pake breast holder (bukan BH lho, saya ga tau sebutannya, maklum bukan orang fashion) yang menyangga bagian bawah dada itu lho.. ah, sudahlah, ini ada gambarnya. Catchy?! Of course.



Suara, jelas beniiiing… tak perlu diragukan. Hanya saja, Agnes agak memaksakan suara tingginya di salah satu lagu (lupa lagu apa), tapi kedengerannya jadi seperti teriak-teriak.
Dance? She’s still the best in her class, because she’s the only one! Belum ada khan penyanyi Indonesia yang bisa menandingi her choreography and her move?! Tapi, kalau saya pribadi, entah kenapa masih belum bisa merasakan greget, dan belum bisa ikut merinding ketika melihat Agnes and her Nezindahood dancers (bener ga sebutannya?).
Nah, yang mau saya komentari juga adalah tentang penggunaan bahasa. She did bilingual in the concert (well maybe in every concertshe did), dan itu keren sekali, untuk yang mengerti dan sangat fasih berbahasa Inggris. Sayangnya, tidak semua penonton konser malam itu bisa berbahasa Inggris (entah kenapa saya yakin sekali akan hal ini). Well, jika mereka berteriak histeris saat Agnes berusaha berinteraksi dengan Bahasa Inggris, saya yakin itu karena ada energi luar biasa yang mereka berikan untuk Agnes, bukan karena mereka benar-benar mengerti dan paham.

My favourite? Temperature of course, yang menjadi penutup konser malam itu. I just love the song, and the choreography. Sayangnya tidak dijadikan single dan tidak dibuat videoklipnya.

So, I’m gonna give eight out of my ten fingers to your one hour concert, Agnes.

PS. You are not the only one under the spotlight, girl. Some of your beloved soldiers are just too cute to see.

[gamabr diambil dari @FansAgnesMonica disini --> http://plixi.com/p/63442204]

Minggu, 30 Mei 2010

Dream and World No Tobacco Day

Tidak terasa sudah seminggu saya belum doyan untuk merokok lagi. Lucunya, ternyata seminggu tanpa rokok saya ini ternyata bertepatan dengan World No Tobacco Day.


Kenapa tidak doyan merokok lagi? Apakah karena ada yang menyuruh? Atau karena paru-paru saya sudah terlalu penuh dengan nikotin? Atau karena saya ingin lebih hemat? Tidak.

Titik mula saya tidak doyan merokok lagi adalah karena mimpi. Superficial sekali ya? Tapi itulah kenyataannya. Seminggu lalu saya bermimpi berbincang-bincang dengan malaikat kematian (ini serius). Banyak yang tanya seperti apa wujudnya malaikat kematian itu ketika saya bercerita pada mereka. Saya bilang ya seperti manusia biasa. Terus dari mana saya tahu kalau dia itu adalah malaikat kematian? Ya karena dia mengatakannya pada saya.

Percakapan kami adalah di ruang makan rumah saya. Dia bercerita bagaimana dia menjemput mereka yang sudah habis waktunya di dunia, kemudian membawa mereka “pulang”. Mirip lah sama film City of Angel yang dibintangi Meg Ryan dan Nicolas Cage.

Intinya adalah, di akhir percakapan kami, dia mengatakan bahwa di masa sekarang ini, akan ada banyak kematian karena rokok.


Paginya, saya yang biasa merokok dan ngopi setelah bangun tidur, tak merasakan keinginan untuk menambah asupan nikotin dan tar ke paru-paru saya. Pernah sekali saya menghisap rokok lagi karena sekedar “kepingin” melihat teman saya yang tampak nikmat sekali dengan hisapan-hisapan rokonya. Namun dua hisapan rokok itu berasa hambar di mulut saya. Tak ada nikmatnya. Dan sampai sekarang saya memang belum kepingin lagi untuk mengisi paru-paru saya dengan asap rokok. Ya, semoga saja saya tidak akan pernah kepingin lagi.






------

Jujur saja, mimpi itu memang sangat berpengaruh pada saya beberapa hari setelahnya. Saya mulai memikirkan hidup yang menurut orang Jawa “mung mampir ngombe” alias cuma mampir minum saja. Perpanjangannya? Saya mulai memikirkan tentang bagaimana memperbaiki kualitas hidup saya dan bagaimana saya bisa menjadi lebih berguna di masa hidup yang hanya singkat ini.

Apakah saya sudah berhasil? Belum. Namun saya sedang berusaha.