Rabu, 16 September 2015

World Alzheimer Month 2015: Remember Me

Indonesia bersama dengan 84 negara lainnya serentak memperingati World Alzheimer Month (WAM) 2015 dengan tema “Remember Me”. Yogyakarta yang pada tahun lalu mengadakan jalan sehat “Memory Walk” di kawasan Jl. Margoyasan (Mangkubumi), kali ini mengadakan peringatan Bulan Alzheimer Sedunia secara kolaboratif dengan Cita Sehat Foundation dan Ikatan Duta Museum DIY.

Peringatan Bulan Alzheimer Sedunia Yogyakarta dilaksanakan hari Sabtu, 12 September 2015, pukul 7.00 hingga 11.00 WIB di Museum Sejarah Purbakala Pleret. Jika tahun lalu peserta perayaan tahunan ini adalah lansia, maka tahun ini, kami juga melibatkan anak muda dari berbagai komunitas untuk ikut terlibat aktif dalam acara ini.
Museum Sejarah Purbakala Pleret dipilih menjadi lokasi, sebab museum ini dapat mewakili Kecamatan Pleret yang memiliki situs peninggalan bersejarah berusia ratusan tahun yaitu Kraton Pleret, yang seolah dilupakan oleh masyarakat. Hal ini seiring dengan tema WAM 2015, yaitu “Remember Me”, yang ingin menekankan agar kita tidak melupakan keluarga atau kerabat yang hidup dengan Dementia Alzheimer ataupun mereka yang mungkin telah meninggal dunia karena Alzheimer.

Menurut Koordinator Alzi Jogja, Felix Krisnugraha, keterlibatan anak muda dalam kegiatan ini sangat penting, sebab walaupun Alzheimer lebih banyak diderita oleh lansia, namun dengan memahami dan mengenali penyakit ini, maka mereka dapat melakukan pencegahan sejak dini dan mengerti apa yang harus dilakukan apabila mendapati orangtua atau kerabatnya ternyata mengalami gejala Alzheimer. Dengan melibatkan anak muda, maka persebaran isu tentang Alzheimer pun juga lebih efektif, mengingat mereka yang terlibat dalam acara ini adalah anak muda yang terlibat aktif berkegiatan di komunitas masing-masing dan merupakan pengguna aktif media sosial.
Peringatan WAM 2015 Yogyakarta melibatkan 30 lansia Dusun Karet yang merupakan dusun binaan dari Cita Sehat Foundation, 30 anak muda dari berbagai komunitas di Yogyakarta, yang akan saling dipasangkan. Para anak muda ini menjadi pendamping selama acara berlangsung dan secara aktif berinteraksi dengan para lansia.
Selain kegiatan interaksi antar lansia dan anak muda, diadakan juga pemeriksaan kesehatan gratis dan deteksi dini Alzheimer bagi lansia, serta edukasi tentang Alzheimer bagi anak muda.
Acara ini bekerjasama dengan Klinik Memori RSUP dr. Sardjito, Laboratorium Klinik Prodia, Dowa, Bakpiapia, Dinas Kebudayaan DIY, serta didukung para relawan Alzi Jogja.


Sabtu, 08 Agustus 2015

Tentang Project Dengan Persiapan Kurang Dari Satu Minggu

#NEWSEUM
Berkunjung, Belajar, Berbagi


Apakah yang dimaksud dengan “NEWSEUM”?

#NEWSEUM: Peserta kegiatan diharapkan bisa mendapatkan pengetahuan, pengalaman, dan pertemanan baru.
Peserta kegiatan merupakan “new generation” atau generasi muda yang harus kembali diajak untuk bisa menikmati museum.
#NEWSEUM: Setelah mengikuti kegiatan, peserta diharapkan bisa membantu memberitakan tentang pengalaman mereka selama berada di museum—secara tidak langsung juga akan mempromosikan museum itu sendiri.
#NEWSEUM: Tagar di depan kata menandakan bahwa acara ini juga mengandalkan media sosial untuk membantu amplifikasi program Wajib ke Museum.

Museum Sonobudoyo dipilih karena melalui museum ini, generasi muda dapat kembali mengenal tentang sejarah dan kebudayaan Jawa, sehingga dapat merasakan keterikatan dan menjadi bagian dari mereka. Hal ini erat kaitannya juga dengan tema “Museum for Sustainable Society”, sebab kegiatan ini diharapkan dapat mempersempit jarak antara museum dan generasi muda yang saat ini lebih banyak terpapar teknologi dan budaya dari luar Indonesia

Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi yang makin pesat, museum dituntut untuk dapat beradaptasi dengan cepat agar tidak ditinggalkan oleh generasi “kekinian” yang saat ini tidak bisa lepas dari gaya hidup modern. NEWSEUM diharapkan bisa menjembatani museum dengan generasi baru yang haus akan informasi dan eksistensi.

Peserta kegiatan adalah anak-anak muda dan komunitas berbasis sosial media Instagram. Melalu Instagram, amplifikasi  kegiatan ini akan dirasakan lebih luas, sebab bukan hanya peserta yang dapat menikmati kegiatan, namun follower Instagram dari masing-masing peserta juga akan bisa mengetahui tentang kegiatan ini. hal ini secara tidak langsung juga menjadi media promosi museum yang efektif dan relatif murah.


NEWSEUM akan dilaksanakan pada hari Sabtu, 8 Agustus 2015, pada pukul 9.00 - 12.00 WIB di Museum Sonobudoyo. Peserta akan berkumpul di halaman museum pada pukul 9.00 dan mulai tur keliling museum bersama pemandu. Selama berkeliling museum, peserta diharuskan berfoto dan mengunggah ke akun Instagram masing-masing dengan tagar yang telah ditentukan (#NEWSEUM2015 dan tagar resmi dari Duta Museum DIY).


Sebenarnya tulisan di atas adalah bahan press release yang saya kirimkan ke media. Hehehe..
Ketahuan sekali kalau (masih) malas nulis blog.

Minggu, 28 Juni 2015

Love Wins

Euforia pengesahan pengesahan pernikahan sesama jenis di Amerika Serikat juga terasa di Indonesia, paling tidak melalui dunia maya. Saya yakin dalam beberapa hari ini, akun media sosial yang kita miliki tiba-tiba dipenuhi pelangi. Suka atau tidak, sepertinya memang banyak yang ikut bergembira dengan pengesahan ini.

Saya sendiri melihat pengesahan ini sebagai sebuah akhir yang manis dari sebuah perjuangan panjang para LGBT di Amerika Serikat. Melalui Twitter dan Facebook, saya menemukan beberapa foto dan link yang memberitakan tentang pasangan-pasangan sejenis yang sudah berusia lanjut yang akhirnya bisa mencatatkan pernikahan mereka secara sah.




Jack Evans dan George Harris yang sudah berusia 80an akhirnya bisa tersenyum setelah mengesahkan pernikahan mereka di Dallas County, Texas, setelah menjalani hidup bersama selama 54 tahun. Bukankah ini sebuah akhir yang manis untuk pasangan-pasangan sejenis yang sudah menunggu berpuluh-puluh tahun? 

Selasa, 31 Maret 2015

Generasi Ketiga | #MaretMenulis 23

Generasi kita bukanlah generasi pencipta. Itulah yang kadang terlintas di pikiran saya.

Generasi sebelum kita adalah generasi yang mengembangkan—atau mungkin mengeksploitasi—warisan dari generasi pencipta yang lahir jauh sebelum kita. Mereka mengembangkan segalanya dengan begitu cepat dan kadang mungkin tak memperhatikan hal lain yang mungkin akan menyertainya.

Generasi sekarang sebenarnya bisa dibilang tinggal menikmati hasil kerja keras dua generasi sebelumnya, namun dibalik semua kenyamanan itu, kita punya tugas yang sama beratnya dengan dua generasi sebelumnya. Tugas tersebut adalah memperbaiki dan menata kembali apa yang terlewatkan oleh generasi sebelumnya.

Saya pernah mendengar sebuah mitos tentang generasi ketiga, ibarat sebuah perusahaan keluarga, generasi pertama adalah perintis, generasi kedua adalah yang mengembangkan dan menjadikan perusahaan tersebut berjaya, dan generasi ketiga adalah yang meruntuhkannya.


Kita adalah generasi ketiga tersebut. Menikmati sambil ongkang-ongkang kaki atau mempertahankan apa yang ada agar generasi seanjutnya bisa menikmati hal yang sama, itu adalah pilihannya. 

Sabtu, 28 Maret 2015

Menikmati Delay | #MaretMenulis 22

Ada yang bilang, sebagai pelanggan yang terhormat, jika tidak puas dengan layanan yang diberikan, maka kita harus complain. Saya setuju saja jika ketidakpuasan tersebut kita dapatkan saat berada di sebuah restoran.

Karena antisipasi kemacetan Jakarta, kemarin siang saya sudah berada di dalam taksi menuju Bandara Halim Perdanakusuma pada pukul 11.00. Saya tiba di bandara sekitar pukul 11.30, padahal flight masih pukul 15.00. Saya habiskan waktu hingga sekitar pukul 13.00—sambil menunggu waktu check ini—di Dunkin Donout dengan menulis #MaretMenulis sambil sesekali menoleh ke layar televisi yang menayangkan Viva JKT 48 di televisi.

Delay hingga pukul 16.30, ujar mbak petugas dengan ekspresi sekenanya, mungkin sudah lelah dimaki-maki penumpang lain yang kesal karena delay.

Tak ada gunanya kita marah-marah dan memaki ground crew saat pesawat kita mengalami delay—mereka juga tak akan bisa berbuat apapun, bukan? Menurut saya dari pada menghabiskan tenaga untuk marah-marah padahal kita tahu situasi tidak akan berubah, kenapa tidak kita nikmati saja duduk tenang dan menikmati suasana?

Mendengarkan musik dengan headset sambil mengamati wajah-wajah penumpang lain yang juga menjadi korban delay, menjelajah semua media sosial yang kita punya, menikmati Caffemocha panas sambil menulis, itu yang saya lakukan untuk membunuh waktu kemarin siang. Jika itu semua tidak mempan, mungkin berbincang dengan penumpang lain atau cari posisi pewe untuk tidur juga bisa dilakukan.

Jumat, 27 Maret 2015

Tetua | #MaretMenulis 21

Bagaimana jika ternyata kau menjadi salah satu yang tertua di lingkungan pertemananmu? Apakah kau akan menempatkan diri sebagai si bijak yang selalu memberikan nasihat dan selalu mengayomi, menjadi si tak-ingat-umur karena terbawa dengan perilaku teman-temanmu yang lebih muda, atau mungkin menjadi si jaim yang selalu jaga wibawa dan hanya berpendapat saat diminta karena takut dianggap tua?

Apapun itu, menurut saya sebaiknya jangan dipaksakan. Jangan berusaha menjadi si bijak yang harus selalu bisa memberkan saran terbaik, jangan juga berusaha mati-matian menjaga wibawa hanya karena takut dianggap tak-ingat-umur. Biarkan image apapun itu melekat kepada diri kita secara alami.


Masa Lalu di Masa Depan | #MaretMenulis 20

Ada satu pandangan baru tentang masa depan dari Sophia Latjuba di Press Conference Earth Hour Indonesia Kamis lalu. Perempuan cantik yang tahun ini membantu mengkampanyekan #BeliYangBaik ini bercerita bahwa ia pernah membaca sebuah buku atau dokumenter—yang ia sendiri lupa apa judulnya—yang menceritakan tentang satu kemungkinan masa depan yang akan terjadi.
Tuh, mbak Sophia lagi cerita.

Masa depan yang digambarkan Sophia bukanlah masa depan dengan teknologi futuristik seperti yang sering kita lihat di film-film sci-fi. Masa yang digambarkan adalah masa depan depan seperti masa lalu. Jangankan mobil terbang, mobil konvensional seperti yang ada sekarang pun tidak akan berguna. Peradaban manusia mengalami kemunduran karena semua sumber daya alam sudah dihabiskan di masa ini. Dihabiskan oleh generaasi kita.

Hal ini bukannya tidak mungkin terjadi. Bahan bakar fosli suatu saat nanti akan habis, dan itu adalah satu hal yang pasti. Sayangnya, kita seolah tak peduli, karena kita tahu benar, bukan generasi kita yang akan merasakannya.

Saya ingat pernah menyaksikan satu tayangan—kalau tidak salah di Discovery Channel—tentang teknologi solar system yang (katanya) sudah ditemukan sejak abad ke-19. Konon teknologi tersebut sudah sempat dikembangkan dan sudah siap diuji, sayangnya Perang Dunia akhirnya membuat solar system yang telah terpasang itu harus dibongkar kembali untuk membantu memenuhi kebutuhan perang.

Tampaknya sejak saat itu solar sytem seolah menjadi kisah yang terlupakan. Generasi kita—yang sudah terlanjur mengalami ketergantungan pada bahan bakar fosil—menganggap solar system sebagai satu hal yang sama sekali baru.

Seandainya jumlah uang di rekening tabungan saya sebanyak yang dimiliki Donal Trump, mungkin saya akan menginvestasikannya untuk pembangunan solar system raksasa agar bisa menggantikan PLTU Paiton. Sayangnya, di saat waktu itu tiba, mungkin saya sudah tidak ingat lagi bahwa saya pernah membuat tulisan ini.

http://img2.bisnis.com/bandung/photos/2014/05/13/504202/pltu-paiton-antara.jpg