Jumat, 27 Maret 2015

Perempuan Itu Bernama Jakarta | #MaretMenulis 19

Kali ini saya berada di Jakarta. Ya, sekali lagi saya berasil melakukan perjalanan keluar Jogja sendirian, walaupun kesendirian saya hanya selama di pesawat, karena akhirnya seorang sahabat menawarkan diri untuk menjemput di Bandara Halim Perdanakusuma.

Jakarta selalu membuat saya kagum karena memiliki daya tarik tersendiri. Banyak orang—termasuk beberapa teman dekat saya—entah kenapa begitu terpikat dengan daya tarik tersbut sehingga rela meninggalkan kota kelahirannya dan berjuang untuk bertahan hidup di sela-sela hutan beton ibukota. Semua dilakukan atas nama karier dan masa depan yang lebih cerah.

http://media-cdn.tripadvisor.com/media/photo-s/01/5d/4f/f4/mandarin-oriental-jakarta.jpg


Jakarta ibarat seperti perempuan high-maintance yang cantik dan ber-body sempurna, mungkin seorang model, atau seorang model yang juga anak konglomerat, dan masih single. Banyak sekali lelaki yang berbondong-bondong untuk memenangkan hatinya, tapi sayang ia sangat angkuh dan hanya lelaki yang bernyali besar—dan mungkin tidak tahu malu—yang berani mendekatinya.

Saya lebih memilih untuk mengagumi perempuan ini dari jauh, persis seperti ketika melihat Cameron Diaz atau Charlize Theron di tivi atau majalah. Kagumi saja dari jauh, jangan sekali-kali bermimpi untuk bisa memiliki atau bahkan mendekatinya. 





Minggu, 22 Maret 2015

Menulis Itu Susah | #MaretMenulis 18

Ternyata memang susah menjaga konsistensi. Hal sesederhana duduk di depan laptop minimal sejam sehari dan menulispun menjadi sesuatu yang sangat berat.

Memang akan ada dua kemungkinan, jika sekedar mengejar kuantitas—sehari satu tulisan—bukan tidak mungkin kualitas tulisan tersebut makin lama akan makin menurun, namun jika menjaga kualitas, kita tidak mungkin memaksa otak untuk berpikir secepat itu. Bagi para penulis profesional dan jurnalis mungkin tak akan menemukan kesulitan ketika harus menuliskan tiga artikel setiap hari, karena memang sudah terlatih dalam hal tersebut. Berbeda dengan kita—atau mungkin dalam hal ini saya sendiri—yang masih dalam tahap belajar.

Sebenarnya bisa saja—untuk mengejar kuantitas dan konsistensi—saya menuliskan puisi atau sajak alakadarnya setiap hari, namun tetap saja ada ketidakpuasan yang muncul. Sama seperti tulisan ini yang mungkin hanya akan mendapat nilai 1 pada skala 1 sampai 10, seperti beberapa tulisan saya yang lain di #MaretMenulis.


Kamis, 19 Maret 2015

Terlalu Besar, Terlalu Bodoh | #MaretMenulis 17

Seberapa besar kesombongan kita yang lulusan S1 dan merasa sudah sangat ahli di bidang yang kita geluti? Punya saya cukup besar.

Kadang lingkungan pergaulan kitalah yang membuat kita merasa besar. Kita menjadi terlalu malas untuk mengakui bahwa di luar sana, di lingkungan pergaulan yang lain, kita bukanlah siapa-siapa.

Itulah yang saya alami belakangan ini. Seiring dengan makin luasnya pergaulan, saya makin sadar, bahwa saya butuh lebih dari sekedar orang-orang yang selalu mengatakan betapa hebatnya kemampuan Bahasa Inggris atau betapa cemerlangnya ide konten program radio yang saya miliki.

Beruntungnya, saya punya beberapa lingkungan pergaulan—UnisiRadio, RBTV, Earth Hour Jogja, Alzi Jogja—yang berbeda yang selalu bisa memperkaya dan kadang memberikan tamparan tersendiri.

Tamparan paling baru yang saya alami adalah saat memandu talkshow di program Obrolan Pagi RBTV bersama partner saya, Isye Dewi. Jujur saja, saya langsung membodoh-bodohkan si pembuat flyer sederhana dengan desain alakadarnya bertuliskan “Peringatan Hari Sindroma Down Dunia”.

Mengapa “down” tidak diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia? Mengapa tidak ditulis “Peringatan Hari Down Syndrome Dunia” atau malah sekalian ditulis saja semua mengguanakan Bahasa Inggris, “World Down Syndrome Day”, bukannya akan terlibat lebih bagus dan terpelajar?

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu saya dapatkan saat jeda iklan. Ternyata “down” memang tidak bisa diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, karena memang tidak mengacu pada kapasitas otak para penderita yang di bawah rata-rata manusia normal. Down ternyata diambil dari seorang dokter asal Inggris, John Langdown Down, yang berhasil menemukan dan memaparkan tentang sindroma ini di tahun 1866.

Iya, saya memang harus malu karena setelah hampir menjalani kehidupan selama hampir 30 tahun, saya baru mengetahui tentang hal ini sekarang. Mungkin menang pergaulan saya masih kurang luas, atau bisa jadi saya terlalu malas untuk mencari tahu, tapi yang jelas, saya harus bersyukur karena telah dipertemukan dengan Mbak Titik dan Ibu Kiki dari Persatuan Orangtua Anak Dengan Down Syndrom lewat program talkshow itu. Saya kembali diingakan bahwa bahkan galaksi Bimasakti pun hanyalah titik kecil di hamparan jagat raya yang maha luas.


Rabu, 18 Maret 2015

Interaksi | #MaretMenulis 16

Apa yang sebenarnya kita butuhkan setelah seharian penuh beraktifitas? Pasti jawaban yang pertama kali muncul adalah beristirahat atau tidur. Itu pasti, namun menurut saya ada satu hal kecil yang harus dilakukan sebelum kita beristirahat.

Jika tidak benar-benar amat sangat lelah, rasanya tak ada salahnya untuk mengajak beberapa teman untuk mampir di sebuah coffee shop, lesehan, atau sekedar warung burjo. Tinggalkan sejenak pikiran tentang pekerjaan, lalu berbincanglah.

Menurut saya, kegiatan semacam ini bisa menjadi penetralisir dan penyeimbang hidup kita. Sentuhan dan interaksi dengan kerabat dekat  bisa membuat kita kembali menjadi manusia setelah seharian penuh menghamba pada laptop dan berbagai berkas pekerjaan yang menumpuk.

Sebenarnya hal ini tidak harus dilakukan di luar jam kerja. Saat berada di kantor pun, kita tetap bisa menyeimbangkan diri dengan berinteraksi dengan rekan kerja. Jangan biarkan diri terkurung dalam kubikel dan terlalu lama berurusan dengan komputer.


Intinya, tidak masalah menjadi seorang workaholic, namun jangan lupakan untuk melakukan detosifikasi dengan berinteraksi dengan sesama manusia.

Selasa, 17 Maret 2015

Zodiak | #MaretMenulis 14

Percaya ramalan bintang atau zodiak mungkin adalah hal yang konyol dan menggilikan bagi sebagian orang. Saya pun punya pikiran yang sama. Ramalan bintang memang sepertinya hanya mempan bagi remaja-remaja puber penuh gejolak yang sedang mencari jati diri.



Bagaimana dengan pembagian karakter berdasarkan zodiak? Salah satu teman pernah menyebutkan di Path-nya bahwa konyol jika kita percaya bahwa rasi bintang bisa menentukan karakter dan jalan hidup seseorang.  Saya setuju, mustahil jika susunan rasi bintang yang jaraknya entah-sekian-juta tahun cahaya itu bisa mempengaruhi hidup kita. Untuk menanggapi urusan perbintangan ini rasanya kita harus melihat dari sudut pandang yang berbeda.

Coba kita kumpulkan beberapa orang dengan zodiak yang sama, katakanlah Leo, pasti mereka paling tidak akan berbagi kesamaan dalam hal: senang menjadi pusat perhatian, agak angkuh, dan bossy. Coba dengan zodiak yang lain, misalnya Aquarius, saya yakin mereka akan berbagi kesamaan dalam hal: sifat yang ramah, menjaga hubungan baik dengan semua orang, dan susah untuk mengatakan tidak saat dimintai bantuan. Pembagian karakter berdasarkan zodiak ini menurut saya bukanlah ramalan, ini adalah sebuah pembagian yang sistematis dan bisa sangat membantu untuk mengenal karakter seseorang.

Saya sendiri sudah tak ingat sejak kapan saya mulai menggunakan zodiak sebagai alat bantu untuk mengenal orang baru, namun yang jelas hal ini akan sangat berguna ketika kita akan membentuk sebuah tim kerja yang solid.

Tidak bisa dipungkiri, ada beberapa zodiak yang memang punya karakter pekerja keras, ada yang pemikir, ada yang tidak takut untuk mengungkapkan pendapat, dan ada juga zodiak yang punya karakter sangat perasa alias mudah sakit hati. Dengan patokan ini, akan lebih mudah bagi kita untuk memahami orang-orang di sekeliling kita.

Pembagian karakter berdasarkan zodiak memang bukan hal yang mutlak, karena masih ada pembagian karakter berdasarkan shio, golongan darah, dan sebagainya. Memang akan makin kompleks saat kita mencoba membaca karakter seseorang dari zodiak, shio, dan golongan darah sekaligus, karena akan muncul puluhan bahkan mungkin ratusan kemungkinan kombinasi karakter dari situ. Jalan mudahnya, gunakan saja salah satu. Tidak mungkin bukan, mengunakan gunting, cutter, dan pisau pada saat bersamaan?




----
Iya, harus diakui cari ini memang juga ampuh untuk urusan percintaan. Kita akan lebih mudah memahami karakter pacar atau gebetan dan tahu bagaimana mengambil hati mereka.

Senin, 16 Maret 2015

Komentar | #MaretMenulis 13

Entah sudah berapa orang yang berkomentar tentang tato yang saya miliki. Tato aksara Jawa di lengan kanan yang sebenarnya adalah nama lahir saya selalu saja dibaca ha-na-ca-ra-ka—entah dengan maksud bercanda atau menyinggung—dan tato di lengan kiri saya yang merupakan penggalan dari ayat kitab Ayub 37, selalu dikomentari mirip cetakan koran atau berita kehilangan.

Kadang memang terlintas, apa perlu menutup tato tersebut dengan tato lain yang lebih keren agar tidak banyak dikomentari; namun setelah dipikir lagi, rasanya itu tidak akan ada gunanya. Orang-orang pasti akan selalu punya komentar tentang apapun yang kita lakukan.






---

Tulisan pendek ini bisa jadi sebuah tulisan keputusasaan karena di hari ke 17 #MaretMenulis, baru ada 13 tulisan yang muncul di blog. 

Rabu, 11 Maret 2015

Istimewa | #MaretMenulis 11

Banyak  orang mempertanyakan, akankah Jogja tetap istimewa setelah berbagai bangunan beton dibiarkan menjamur beberapa tahun belakangan ini. Akankah Jogja tetap berhati nyaman, atau berhenti nyaman?

Menurut saya, sampai kapanpun Jogja akan tetap istimewa; istimewa karena akhirnya memiliki apartment yang menjulang tinggi dan pusat perbelanjaan super besar, istimewa karena masih memiliki Keraton dan bebrbagai bangunan cagar budaya yang mungkin sewaktu-waktu bisa berubah menjadi hotel berbintang, istimewa karena langitnya berhias reklame raksasa dan kabel-kabel listrik, istimewa karena kendaraan bermotor berjejal di jalanan hingga tak ada lagi tempat bagi sepeda dan becak, dan berbagai keistimewaan lainnya.
Istimewa?




Tulisan di atas adalah catatan kebimbangan seorang warga Jogja dari generasi peralihan yang gembira melihat masa depan kota kelahirannya yang metropolis, dan pada saat yang bersamaan khawatir anak cucunya tidak akan bisa lagi menikmati tanah leluhur mereka yang "berhati nyaman".